
Kata pertama yang tertulis diatas ( bahasa jawa
artinya tidak apa apa ) dan sekaligus sebagai judul dari tulisan ini adalah
wujud dari keinginan dari seorang anak muda yang menginginkan apa yang sudah
menjadi warisan dari nenek moyangnya untuk selalu dipegang teguh, supaya
kelestarian dan keberlangsungan sebuah tradisi dan budaya dapat terlestarikan.
Untuk sedikit mengurai maksud judul yang tertulis tersebut, disini akan
dijelaskan secara terperinci. Walaupun tanpa data data ataupun sumber yang bisa
dipertanggung jawabkan kebenarannya, tetapi apa yang diuraikan ini adalah
sesuai dengan pengalaman langsung sang penulis menghabiskan hidupnya hingga
menginjak dewasa seperti sekarang ini ( lebih tepatnya sekarang si penulis
merantau ke seberang ). Pertama tama untuk memulai kegelisahan penulis adalah
bahwa daerah satu ini adalah daerah yang sungguh tidak menarik untuk para
wisatawan (tepatnya karena belum ada promosi dari pihak terkait ), masuk dalam
wilayah ibu kota provinsi jawa tengah tetapi lebih dekat dengan daerah istemewa
djogjakarta dari pada kota semarang. Tepatnya berada di kabupaten Purworejo,
kecamatan Kemiri, desa Paitan. Disebelah barat berbatasan dengan desa Waled,
sebelah utara berbatasan dengan desa Gesikan, dan sebelah timur berbatasan
dengan desa Tunggorono serta disebelah selatan berbatasan dengan desa Kaliwatu.
Perjalanan menuju ke kecamatan Kemiri kurang lebih memakan waktu 15 menit,
Sedangkan perjalanan menuju kabupaten Purworejo memakan waktu 45 menit,
keduanya itu apabila ditempuh mengunakan sepeda motor. Perjalanan ke Semarang
kira kira memakan waktu 3 jam seandainya mengunakan sepeda motor ( kalau yang
ini penulis belum pernah membuktikannya sendiri ). Desa Paitan terbagi menjadi
beberapa dusun yaitu krajan wetan, krajan kulon, pedukuhan dan gronggonggan.
Tidak ada keistimewaan lebih dari desa ini, hal menonjol yang bisa saya tangkap
setelah sekitar 24 tahun mengaku menjadi generasi penerus desa tersebut adalah
adanya perbedaan lafal bunyi dari kata yang diucapkan oleh setiap warga dusun.
Aneh memang dalam satu desa (satu kepala pemerintahan yaitu kepala desa) yang
luas wilayahnya sangat kecil (luas tepatnya kurang paham tapi seperti desa desa
dijawa pada umumnya ) tetapi mempunyai perbedaan dalam hal bahasa yang
digunakan para warga dalam percakapan sehari hari. Perbedaan yang maksud disini
adalah pemakaian vocal a dan vocal o yang digunakan oleh masayarakat didesa
ini. Memang tidak semua kata kata yang mengalami perbedaan tetapi bagi saya
pribadi yang orang awam dan bukan peneliti bahasa ataupun ahli bahasa, sangat
kagum dan merasa aneh dengan perbedaan yang dimiliki desa paitan. Perasaan
kagum dan aneh yang saya miliki tidak serta merta membuat saya untuk mencari
tahu (paling tidak dengan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana). Bagaimanapun
juga kekaguman yang saya miliki atas perbedaaan pelafalan bunyi kata kata yang
hanya dimiliki oleh desa paitan (setahu saya desa desa lainnya disekitar tidak
memiliki seperti yang dipunyai desa paitan) tidak berarti membuat saya merasa
lebih dari daerah lain. Kekaguman yang saya miliki semata mata untuk lebih
menghargai arti dari sebuah perbedaan. Saya berikan contoh yang sederhana untuk
menjelaskan perbedaan bunyi pelafalan kata kata itu antara lain : apa dan opo
(hanya krajan wetan yang mengunakan kata opo), sapa dan sopo (hanya krajan
wetan yang mengunakan kata sopo), dan lain lain. Krajan wetan yang cenderung
ikut bahasa jawa djogja solo (walaupun jauh dari mendekati mirip) sedangkan
krajan kulon, pedukuhan dan gronggonggan mengikuti bahasa jawa tegal banyumasan
(walaupun tidak bisa dinamakan bahasa jawa ngapak). Mungkin bisa lebih tepatnya
kalau desa saya ( yang bersangkutan pergi merantau ) adalah daerah abu abu
(peralihan) antara bahasa jawa djogja solo dengan bahasa jawa tegal banyumasan.
Seperti kebanyakan budaya di Indonesia, budaya budaya tersebut harus berjuang
keras untuk mempertahankan diri supaya tidak ditinggalkan oleh kerabatnya
sendiri dari pembuat budaya tersebut. Budaya budaya tersebut harus berjuang
keras melawan “gengsi”. Saya menyebutnya gengsi karena kebanyakan budaya budaya
lokal kalah oleh budaya yang datangnya dari luar dan dianggap modern. Hanya
budaya budaya yang mampu mengikuti gaya hidup manusialah (akibat dari “gengsi”)
yang bisa bertahan walaupun budaya yang digunakan hanyalah semu belaka. Seperti
halnya budaya didesa Paitan yaitu perbedaan bahasa antara pelafalan bunyi kata
vocal a dan vocal o, salah satu dari bunyi pelafalan tersebut mulai di
tinggalkan oleh pengunanya, yaitu bahasa jawa dengan pelafalan bunyi vocal a.
Para warga di desa Paitan lebih memilih pelafalan bunyi yang mengunakan vocal
o. Bahasa jawa dengan pelafalan bunyi vocal a dipersepsikan oleh masyarakat
desa paitan (khususnya kalangan muda mudi) dengan kampungan, rendahan, tidak
sesuai dengan jaman modern, tidak cocok untuk pergaulan. Meminjam istilah dari
komedian sekaligus pemandu acara program stasiun tv Tukul arwana bahwa bahasa
jawa pelafalan bunyi vocal a (khusus didesa saya) adalah katrok. Sebagian
kalangan anak muda mudi di desa ini yang meliputi krajan kulon, pedukuhan dan
gronggongan enggan untuk mengunakan bahasa jawa dengan pelafalan bunyi vocal a,
hanya sebagian kecil dari anak muda saja yang mau mengunakannya. Mereka lebih
memilih bahasa jawa dengan pelafalan bunyi vocal o karena alasan yang sudah
disebutkan diawal tadi. Kalau ini dibiarkan terus menerus bukan tidak mungkin,
hanya dengan hitungan tahun saja keunikan dan kekhasan dari desa ini akan
segera hilang ditelan “gengsi” tersebut. Berangkat dari rasa keprihatinan
inilah, saya pribadi mempunyai kewajiban terhadap diri sendiri untuk bertekad
melestarikan budaya bahasa jawa pelafalan bunyi vocal a (penulis tempat asalnya
krajan kulon) dengan cara memulai dari diri sendiri. Memang ini butuh kekuatan
yang ekstra lebih supaya bisa menahan gempuran (baca pengaruh) dari bahasa jawa
pelafalan bunyi vocal o, dengan cara tidak malu mengunakan bahasa jawa
pelafalan bunyi vocal a dengan orang orang satu asal supaya bahasa jawa
pelafalan bunyi vocal a tetap eksis walau dengan susah payah untuk bertahan.
Bagi saya melestarikan Sesuatu yang sudah diwariskan oleh generasi generasi
terdahulu adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh generasi penerus.
Menjaga dan melestarikan dengan cara mengunakanya dalam kehidupan sehari hari
adalah wujud dari memartabatkan kehormatan diri sendiri. Bukan malah meniru
niru budaya orang lain, itu sama saja membuat orang lebih maju sedangkan kita
untuk berdiri saja susah payah. Saya tidak anti dengan kebudayaan pihak lain,
tetapi alangkah indahnya apabila kebudayaan yang kita punyai dilestarikan
supaya warisan dari generasi generasi terdahulu tidak mati ditelan kemajuan
jaman. bukankah masa kini yang unggul adalah masa kini yang mau menghormati
masa masa terdahulu. Saya pribadi tidak mengatakan kalau kebudayaan lain jelek,
Bagi saya tidak ada yang bisa mengukur atapun menilai tingkatan tinggi
rendahnya dari suatu kebudayaan, dalam hal ini bahasa. Semua bahasa adalah
keajaiban yang mampu dimiliki oleh sejarah perjalanan hidup manusia dimuka bumi
ini, melalui proses yang sangat panjang. Butuh ratusan bahkan hingga ribuan
tahun sehinga bisa tercipta suatu bahasa unik seperti sekarang ini. Dahulu
sebelum manusia menemukan bahasa sebagai alat komunuksi, alat komunikasi yang
digunakan hanya mengunakan bahasa tubuh. Sangat sulit jaman dahulu untuk
menjelaskan hal hal yang spesifik karena bahasa tubuh yang dapat digunakan
sangatlah terbatas, sehinga dengan penemuan bahasa yang diikuti dengan penemuan
tulisan, sangat memudahkan orang dalam hal komunikasi. Penemuan penemuan bahasa
yang saat ini dapat kita temui bermacam macam adalah buah karya dari sebuah
proses perkembangan dan telah mengalami banyak sekali perubahan, sehingga saat
sekarang ini kita bisa berkomunikasi dengan lancar kepada sesamanya. Coba
bayangkan apabila sampai saat ini manusia belum mampu menemukan bahasa, sungguh
sangatlah menderitanya kita dalam hal komunikasi terhadap sesamanya (mungkin
kemajuan iptek saat ini belum akan terjadi). Pada dasarnya dan esensi dari
sebuah bahasa adalah untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi maksud dan tujuan
kita agar bisa sampai kepada orang lain, sehingga sangatlah naif apabila hal
yang sangat bermanfaat tersebut (pengkomunikasi ) digolong golongkan ( lebih
bagus, lebih sesuai dengan jaman modern, cocok untuk gaul ) yang elemen
penggolongannya tidak bisa terdeteksi. Sudah saatnya pemerintah setempat dan
para warga di desa paitan untuk sadar dengan keunikan hal ini, keunikan yang
tidak di miliki oleh daerah lain. Supaya keberlangsungan keunikan yang
dimilikinya tidak tergerus oleh budaya budaya lain. Sehingga budaya yang sudah
diwariskan oleh generasi sebelumnya bisa tersampaikan oleh generasi
selanjutnya. Jangan sampai generasi yang akan datang hanya bisa mengetahuinya
lewat sejarah (kemungkinan besar bukan sejarah tertulis). Padahal keunikan
perbedaaan pelafalan bunyi antara vocal a dan vocal o tersebut dapat
terlestarikan seandainya para warga menjaganya, dengan cara mengunakan dalam
percakapan sehari hari. Apabila perbedaan ini bisa diberdayakan dengan sebaik
baiknya, maka banyak potensi yang bisa dimanfaatkan dari desa paitan,
diantaranya adalah : wisata bahasa. Masyarakat luar bisa berwisata didesa
Paitan, melihat langsung keunikan yang ada di desa Paitan ditambah dengan
nuansa alam yang masih alami dan para wisatawan akan disuguhi oleh senyum ramah
khas penduduk desa. Disamping itu, desa ini nantinya akan dikenal oleh
masyarakat luar karena keunikan perbedaan bahasanya, disamping itu juga akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Maka dari itu untuk mendukung
agar semuanya bisa berjalan dengan baik, maka perlu perhatian serius dari
pemerintah setempat untuk menyiapkan sarana prasarana yang memadai, guna
menunjang program wisata bahasa tersebut. Antara lain sarana jalan, sarana
transportasi, penginapan yang representative, sumber daya manusia setempat, dan
lain lain. Dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan promosi,
melalui pihak yang berwenang pencitraan pencitraan mengenai desa ini (mengenai
keunggulan dan pengalaman berharga yang bisa diperoleh apabila mengunjungi desa
paitan) harus intensif dilakukan ke luar daerah guna memperkenalkan desa ini ke
masyarakat luas. Saya yakin apabila semuanya dikelola dengan baik, maka proyek
desa bahasa akan mudah terwujud sehingga kesejahteraan masyarakat setempat akan
semakin meningkat dan juga pendapatan pemerintah daerah dari sektor pariwisata
juga akan naik Sudah menjadi kewajiban kita semuanya untuk memperhatikan hal
hal kecil yang berada disekitar kita, supaya hal hal terbaik yang kita miliki
bisa termanfaatkan dengan sebaik baiknya. Mulailah dari diri kita masing
masing, mulailah dari hal yang paling kecil yang bisa kita lakukan untuk
melangkah ke hal hal yang lebih besar. Dalam lingkup Bangsa Indonesia, Sudah
saatnya kita memperhatikan budaya budaya lokal negeri ini, jangan silau dengan
budaya yang datang dari luar negeri. Dengan cara mencintai produk produk budaya
local masing masing berarti kita telah memperpanjang status Negara Republik
Indonesia sebagai Negara yang beraneka ragam (mulai dari suku , agama, ras, bahasa,
makanan, dan lain lain). Maukah kita semua ciri khas yang dimiliki bangsa ini
hilang? jawaban serentaknya tentu tidak ( bagi orang orang yang punya
nasionalisme ). Mari kita tunjukan jati diri bangsa ini melalui penguatan
budaya budaya lokal yang dimiliki oleh daerah masing masing. Penguatan yang
dimaksud di sini bukan untuk menonjolkan sifat lokalisme sempit, tetapi
bagaimana penguatan tersebut bisa mempererat persatuan dan kesatuan sebagai
anak bangsa. Dengan semangat toleransi yang tinggi, kita wujudkan perkembangan
budaya budaya lokal yang sebesar besarnya. Seperti halnya perbedaan pelafalan
bunyi vocal a dan pelafalan bunyi vocal o yang berada di desa Paitan. Mimpi
besar saya kelak akan terwujud suatu desa yang dikenal oleh masyarakat luas
dengan sebutan DESA PAITAN DESA WISATA. Amin. by. andrie ya